Sunday, December 11, 2011

Bolehkah Ulama Berpolitik? by DPD PKS Kota Madiun on Monday, February 21, 2011 at 9:30am Bolehkah Ulama Berpolitik? Kata ulama dan politik, dua kata yang dipersepsikan saling bertentangan dalam proses dan tujuannya. Benarkah demikian? Siapakah ulama itu? Benarkah ulama sebaiknya menghindari politik? Mengapa ulama-ulama kita yang turun ke kancah politik, menurun popularitasnya? Tulisan ini diawali pada persfektif bahasa, lalu diformulasikan dengan konteks makna yang dipergunakan Al-Quran, dan isyarat Hadist Nabi Muhammad saw. Dengan harapan pembaca bisa memahami secara utuh makna filosifis kata ulama dan politik secara utuh. Sehingga usaha-usaha desakralisasi politik (pemisahan politik dari agama) oleh pihak-pihak pengusung liberalisme dan sekularisme dapat di counter dengan tidak mengabaikan kecaman terhadap orang-orang alim (ulama) yang melacurkan ilmunya demi kekuasaan semata. Siapakah Ulama? Ulama adalah orang-orang yang menyakini, membenarkan dan mengamalkan kitab suci melalui ilmu pengetahuan, serta menyebarkan kepada masyarakat tanpa pamrih. Penulis menyebut orang-orang, sebab kata ulama bentuk jamak dari kata ‘alim. Adapun kata ilmu, ilmu apa saja—dalam artian ilmu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Jadi orang-orang seperti Hunain Ibnu Ishaq (ahli mata), Alkhawarizm (ahli geometri), Alkindi (ahli filsuf). Mereka dapat disebut sebagai ulama—selama ilmu-ilmu yang mereka sampaikan membenarkan kitab suci. Kata ulama sudah ada sejak Nabi Musa as., pemahaman ini diambil dari makna firman-Nya: dan apakah tidak cukup mejadi bukti bagi mereka (Bani Israil), bahwa para ulama bani Israil sendiri mengetahuinya? (QS. Asy-Su’ara: 197). Ayat ini menunjukkan bahwa ulama Bani israil mengetahui akan turunnya Al-Quran dan Nabi yang disebut Ahmad dalam kitab terdahulu, tapi karena sifat dusta dan ingkar akibat dosa yang mereka lakukan menjadi hijab dalam menerima kebenaran. Al-Quran menegaskan bahwa ulama itu takut kepada Allah, mereka yakin ilmu yang mereka peroleh adalah bentuk ayat-ayat kauniyah (fenomena alam) ciptaan Allah. Oleh karenannya, orang alim dimata manusia, tapi tidak takut pada Allah, tidak bisa dikatakan sebagai ulama yang dimaksud Al-Qur’an. Ini dapat dipahami dari penegasan ayat: sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanya ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fatir: 28) Ulama yang takut kepada Allah, akan menyebarkan kasih sayang, kejujuran, keadilan dan bentuk-bentuk mulia lainnya bagi kemaslahatan umat. Semenara itu orang alim yang tidak takut kepada Allah akan menggunakan ilmunya untuk kepentingan pribadi, kelompok. Bahkan bisa jadi ilmunya untuk menghancurkan keberlangsungan hidup manusia. Jadi, ulama adalah orang-orang yang menebarkan ilmunya untuk perdamaian dan kesejahteraan manusia. Mereka melanjutkan nilai-nilai mulia yang diajarkan Nabi, pantaslah suatu ungkapan yang mengangkat derajat mereka sebagai pelanjut risalah kenabian: sesungguhnya ulama pewaris para nabi. Artinya di pundak ulama misi kenabian diteruskan, meskipun pintu kenabian sudah ditutup, tapi misi mulia itu harus tetap hidup dan berlanjut. Apakah Politik Itu? Kata politik tidak ditemukan dalam referensi keislaman, sebab kata itu sendiri tidak ada akar katanya dalam Bahasa Arab. Hanya saja kata itu dalam bahasa Arab dapat disinonimkan dengan kata as-siyasah. Dalam kamus Bahasa arab kata as-siyasah diartikan siasat, politik atau pemerintahan. Kata siyasah ini sendiri, setelah penulis lacak melalui kitab Fath ar-Rahman juga tidak ditemukan. Meskipun kita (mungkin—karena keterbatasan) tidak menemukan penggunaan kata ini dalam Al-Quran, namun pembahasan tentang siyasah/politik menjadi kajian ulama-ulama kita dan dianggap penting, diantara kitab yang populer dan klasik yaitu al-Siyasah al-Syari’ah karangan Ibnu Taimiyah (661-728 H) Penulis mengamati dalam kajian siasah ini banyak membicarakan pentingnya pemimpin (imamah) dan kriteria pemimpin. Menyangkut persoalan ini kita akan temukan dalam Al-Quran dan Hadist Nabi. Menurut Ibnu Taimiyah, Al-Quran mengisyaratkan seorang yang ditugasi—termasuk pemimpin, hendaknya memiliki dua sifat utama, yaitu kekuatan dan kepercayaan. Kedua sifat ini yang disebut Allah dalam memilih malaikat Jibril menjadi pembawa wahyu (baca QS. Al-Takwir:20) dan kedua syarat ini juga dijadikan alasan oleh penguasa Mesir saat mengangkat Nabi Yusuf as. Sebagai kepala “Bulog” (baca QS. Yusuf: 54). Demikian juga halnya alasan putri Nabi Syua’ib ketika mengusulkan kepada ayahnya agar mengankat Musa as. Menjadi pekerja (Baca QS. Al-Qashas: 26) Sementara itu, di dalam Hadist Nabi ada disebutkan, pertama, diriwayatkan Abu Sa’id: apabila ada tiga orang yang berpergian , maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi amir, yaitu pemimpin yang “memerintah” dan mengatur urusan bersama mereka. Kedua, Nabi bersabda: tidak halal bagi tiga orang (walau) di padang pasir, kecuali mengangkat seorang diantara mereka sebagai amir mereka (HR. Ahmad melalui Abdullah bin ‘Amr). Pada masa Rasulullah masih hidup, otoritas pengangkatan panglima perang dan utusan-utusan kaum muslimin berada di tangan Nabi, tapi otoritas itu tidak diwariskan kepada para sahabat setelah Nabi wafat. Pemilihan khalifah digunakan dengan cara –cara yang berbeda. Setelah Nabi wafat, pengankatan khalifah melalui bai’at langsung oleh Umar bin Khattab kepada Abu Bakar, langsung (bai’at) diikuti oleh para sahabat ketika itu secara mufakat, tanpa ada yang menolak. Setelah Abu Bakar wafat, sistem pemilihan dengan cara menunjuk beberapa orang untuk memilih khalifah (semacam formatur). Pada masa khalifah yang empat tidak ada pergantian kekuasaan berdasarkan keturunan (keluarga). Bolehkah Ulama Berpolitik? Dengan penjelasan kata ulama dan politik yang disari dari pemaknaan kata-kata dari Al-quran dan Hadist, tidak ditemukan adanya larangan ulama berpolitik. Bahkan isyarat dari hadis Nabi dari Abu Sa’id dan Abdullah bin Amr menunjukkan pentingnya mengangkat pemimpin. Hal ini disadari Nabi, karena masyarakat tanpa pemimpin akan dapat menimbulkan ke-chaos-an. Ibnu Taimiyah dalam as-Siyasahnya yang dikutip M. Quraish Shihab, mengutip satu riwayat: enampuluh tahun di bawah pemerintahan yang zalim lebih baik dari semalam tanpa pemerintahan. Bukan berarti hadist ini merestui pemimpin yang zalim, tapi sebuah pilihan akhir untuk menghindari kehancuran yang lebih besar. Di masyarakat Indonesia muncul persepsi yang hampir “pukul rata” pada posisi ulama hari ini, manakalah ulama dekat dengan pemerintahan, dianggap sebagai “ulama pemerintah”. Hal ini dikarenakan suatu anggapan ulama tersebut ingin mendapatkan keuntungan dari status keulamannya, ditambah lagi oleh pernyataan-pernyataan mereka yang “seolah olah” melegitimasi kebijaksanaan pemerintah (baca: eksekutif). Pandangan ini diperkuat lagi dengan hasil karya Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ ‘lum ad-Dinnya yang monumental. Al-Ghazali membagi ulama pada dua tipe yaitu ulama akhirat dan ulama dunia (‘ulama alsu’). Ulama alsu’ (dunia) menurut Al-Ghazali cenderung: (1) Ulama tersebut akan diam meskipun melihat kemungkaran. (2) Ia hanya berbicara, tetapi hanya sekedar basa basi. (3) Ia akan menyaksikan aneka kenikmatan material yang diperoleh dari penguasa. Kenikmatan tersebut akan dibandingkan dengan kenikmatan yang dimilikinya, sehingga pada akhirnya perbandingan ini akan menimbulkan rasa rendah diri dan menjadikannya menilai bahwa anugrah Tuhan kepadanya sangat kecil. Persepsi masyarakat dan pandangan Imam Al-Ghazali yang argumentatif itu tidak menunjukkan bahwa semua ulama yang dekat dengan penguasa (baca: berpolitik) berprilaku “cinta dunia”. Meskupun kita tidak bisa pungkiri ada ulama-ulama. seperti itu, sebab Al-Quran, surah Fathir ayat 32 menyebutkan adanya tiga sikap orang yang diwariskan Al-Quran (orang yang berilmu) yaitu: aniaya (zhalim)—menjual dirinya dengan dunia, sederhana (muqtashid), dan yang berpacu dalam kebaikan (sabiq fi al-khayrat). Bahkan Al-Quran mengecam orang-orang yang berilmu (ulama), tapi melepas tanggung jawabnya karena mengikuti hawa nafsu, diumpamakan seperti seekor anjing yang menjulurkan lidahnya, baik dihalau maupun dibiarkan (QS. Al-‘Araf: 175—176). Selama ini ulama baru dilibatkan dalam acara protokoler dalam pemerintahan untuk menutup acara dengan membaca doa, kesannya ulama “tukang doa”. Satu lagi, setelah muncul persoalan yang tidak bisa ditangani pemerintah, barulah meminta keterlibatan ulama menyelesaikannya seperti: perkelahian antara kelompok masyarakat, aliran sesat dan persoalan lain yang tidak bisa mereka selesaikan. Sekali lagi, ada kesan—jika tidak ingin mengatakan realitas bahwa “kapling” ulama hanya dalam masalah doa, perkawinan, kematian dan kerusuhan. Ulama yang baik memiliki tiga sifat (1) berilmu pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang qur’aniyyah (kitab suci) maupun kauniyah (fenomena alam) (2) mengakui setiap kebenaran ayat-ayat yang datang dari Allah, tidak menyembunyikan sedikitpun dari kebenaran itu. (3) takut kepada Allah sehingga ia tidak mengikuti hawa nafsunya, apalagi melacurkan dirinya demi sesuatu. Politik atau siyasah suatu yang dibolehkan sebagai cara untuk menempatkan atau mengangkat pemimpin yang kuat lagi dipercaya. Kuat artinya menurut saya, berilmu dan sehat; Dipercaya artinya, jujur dan bersih. Wallahu’alam bi ashawab Like · · Share 3 people like this. Write a comment... Press Enter to post your comment. Facebook © 2011 · English (US) About · Advertising · Create a Page · Developers · Careers · Privacy · Terms · Help

No comments:

Post a Comment